SUARABMI.COM - Hong Kong dijuluki banyak orang sebagai surga bagi tenaga kerja Indonesia (TKI). Pada awal tahun 2019 ini setidaknya sudah ada sekitar 165.000 TKI yang bekerja di Hong Kong. Perempuan Indonesia tergiur untuk bekerja di Hong Kong karena gaji yang ditawarkan, yakni mencapai Rp 8 juta per bulan.
Upah sebesar itulah yang rencananya juga bakal diterima Nuning (25 tahun) dan Santi (29 tahun) selama bekerja di Hong Kong. Keduanya baru tiba di Bandara Internasional Hong Kong pada Rabu, 10 April 2019.
Upah Nuning dan Santi memang tidak diterima utuh karena akan dipotong sebagian untuk agen atau pihak perusahaan yang membawa mereka ke Hong Kong, hingga tersisa masing-masing sekitar Rp 5 juta per bulan.
[post_ads]
Meski dipotong, gaji sebanyak itu masih lebih besar dibanding penghasilan yang pernah Nuning dan Santi dapatkan selama bekerja di Indonesia. Nuning, misalnya yang telah bekerja selama lima tahun menjadi kasir, hanya digaji paling besar Rp 2,5 juta per bulan.
Gaji lebih besar yang ditawarkan untuk para pekerja perempuan Indonesia itulah yang kemudian membuat Nuning dan Santi tergiur.
Julukan Hong Kong sebagai surga bagi TKI itu tidak sepenuhnya tepat, setidaknya menurut Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, lembaga nirlaba yang memperhatikan isu pekerja migran Indonesia. “Hong Kong suka disanjung surga, padahal ada sisi gelapnya,” kata Wahyu kepada awak media, Kamis (11/4).
Pendapat Wahyu ini berasalan. Pada tahun-tahun sebelumnya ada sejumlah kasus kekerasan atau penyiksaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia oleh majikannya di Hong Kong. Sebut saja misalnya yang menimpa Tri Wahyuni pada 2018 lalu ataupun Erwiana Sulistyaningsih pada 2013 lalu.
Kabar-kabar soal ini sudah pernah Nuning dengar. “Banyak. Saya awalnya takut. Saya sampai mikir beberapa kali sampai berbulan-bulan. Saya untuk memutuskan pergi ke Hong Kong kan nggak satu-dua bulan. Itu bisa sampai satu tahun untuk memutuskan pergi ke Hong Kong,” ujar Nuning.
[post_ads_2]
Namun pada akhirnya Nuning tetap memberanikan diri dan tetap membulatkan keputusannya. Salah satu alasannya, ia juga punya bibi yang bekerja di Hong Kong, bahkan sudah sampai 18 tahun. “Bibi saya itu sudah saya anggap sebagai ibu sendiri. Jadi saya berani ke sana,” katanya.
Seperti Nuning, Santi juga punya saudara yang bekerja di Hong Kong. Kakak kandungnya sendiri.
Kabar mengenai Hong Kong dari si kakak kandung cukup baik. Hal itulah yang kemudian membuat Santi tertarik ikut bekerja di sana.
Selama bekerja di Hong Kong, Nuning dan Santi diperbolehkan membawa dan memakai telepon genggam pribadi. Majikan akan memberi hak kepada mereka untuk berkomunikasi kapan saja dengan sanak famili mereka yang ada di Hong Kong maupun di Indonesia asalkan tidak mengganggu pekerjaan.
Kondisi ini membuat mereka yakin bahwa mereka bisa bekerja secara aman di Hong Kong. “Yang penting komunikasi (dengan keluarga) tidak terputus,” tutup Nuning.